Sunday, 20 April 2014

MENGENAL LEBIH DEKAT SOSOK R.A KARTINI




Raden Ajeng Kartini
Siapa yang tidak mengenal sosok R.A Kartini, seorang tokoh pelopor emansipasi wanita di Indonesia ?. Mulai dari anak SD sampai rata – rata usia  dewasa pasti mengenal R.A Kartini sebagai batas mindset itu begitu juga dengan saya. Raden Ajeng Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di kota Jepara, Jawa Tengah. Beliau adalah anak dari seorang bangsawan yang masih sangat taat pada adat istiadat. Ayah nya bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Ibunya bernama M.A Ngasirah. Beliau adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara. Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, pangeran  Ario djondronegoro IV, diangkat menjadi bupati dalam usia 25 tahun.
Kartini hidup di zaman dimana feodalisme masih begitu diagungkan di negeri ini. Terutama di tanah jawa. Apalagi kebudayaan Jawa sejak lama turun temurun ( hampir ) selalu pro pada praktik feodalisme. Praktik feodalisme inilah yang sangat ditentang oleh Kartini dan inilah yang menjadi tonggak perjuangannya. Bukan hanya karena feodalisme di zaman tersebut sangat membatasi hak kaum wanita, tapi sistem tersebut menurutnya juga memberikan jarak yang sangat jauh antara pembesar ( bangsawan ) dan rakyat. Hal inilah yang ingin dirombak oleh Kartini karena menurutnya derajat/kedudukan seseorang bukanlah dilihat dari jabatan atau kebangsawanannya, melainkan dari tingkat kecerdasan, pengetahuan dan kemampuannya.
Dan bagaimana mungkin hal itu tercapai jika masyarakat pribumi saja tidak mendapatkan pendidikan yang memadai? Apalagi para wanita pribumi. Jangankan untuk pergi sekolah, untuk pergi keluar rumah saja dilarang oleh adat ! tapi Kartini mendobrak itu semua dan berhasil mengenyam pendidikan sekolah, meski hanya sebuah sekolah rendah Belanda. Sampai usia 12 tahun Kartini diperbolehkan sekolah di ESL ( Europese Lagere School ). Disini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tapi ada yang tidak bisa didobrak oleh Kartini yaitu menjalani pingitan. Setelah lulus dari Sekolah Dasar beliau tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah lagi oleh orang tuanya. Pada tahun 1892 Beliau menjalani pingitan sambil menunggu waktu untuk dinikahkan.
Kartini tidak pernah menyalahkan ayahnya yang telah membuatnya hidup dalam pingitan selama empat tahun. Hal itu tampak dalam surat-surat yang ditulis Kartini karena di sanalah Kartini juga menumpahkan perasaan cinta dan hormatnya kepada ayahnya. Justru pingitan itu  membuat Kartini semakin matang karenanya selama itu Kartini mengalami pendalaman. Kartini menyadari dia tidak akan mampu berjuang secara fisik karena dalam hal itu dia memiliki banyak keterbatasan. Karena itu Kartini kemudian mempelajari bahasa Belanda hingga dia sangat fasih menggunakan bahasa tersebut. Membaca adalah kegemaran Kartini, baginya tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie.
Kemampuannya berbahasa Belanda inilah yang mengenalkannya pada bermacam-macam karya sastra Barat dan demokrasi Barat. Dan beberapa karya sastra yang benar-benar mempengaruhinya adalah karya-karya Multatuli dan roman Hilda van Suylenburg karya Cecile Goekoop de Jong. Karya-karya Multatuli itu menginspirasi Kartini untuk mengentaskan kemelaratan yang melanda kaum pribumi, sementara Hilda van Suylenburg adalah sebuah roman bertendensi emansipasi wanita yang menginspirasinya untuk mengemansipasi wanita pribumi. Sepak terjang Kartini tidak hanya dalam hal emansipasi wanita yang seperti selama ini kita kenal. Dia juga adalah sosok yang memperjuangkan “kemerdekaan” dan kesejahteraan rakyatnya serta merupakan seniman yang handal di berbagai bidang. Semua perjuangannya itu terutama dia lakukan lewat seni sastra/kepengarangan. Semua pemikiran-pemikirannya dia tuangkan lewat tulisan, terutama melalui surat-suratnya. Salah satu yang diakui dunia internasional adalah perannya dalam mengenalkan batik pada dunia. Di masa itu batik merupakan seni yang secara khas dilakukan oleh wanita. Kartini juga merupakan seorang pembatik dan ahli batik. Dari pengalamannya tersebut dia menyusun sebuah karangan tentang batik karena batik adalah salah satu seni rakyat kebanggaannya. Dan tak disangka-sangka karangannya tersebut yang berjudul Handchrift Japara menarik perhatian ibu suri kerajaan Belanda di Pameran Nasional untuk Karya Wanita pada tahun 1898 di Den Haag karena naskah tersebut ditulis dalam bahasa Belanda yang sempurna. Hal yang patut digarisbawahi dari tulisan-tulisan Kartini adalah semuanya ditulis dalam bahasa Belanda. Bukannya Kartini tidak berjiwa nasionalis, sebab bahasa itulah yang paling dikuasai Kartini selain bahasa Jawa. Kartini juga tidak begitu bagus berbahasa Melayu yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia. Karena itulah Kartini memutuskan menulis menggunakan bahasa Belanda karena dia menyasar pembaca dari Eropa, khususnya Belanda. Sebab jika dia menulis dalam bahasa Jawa sudah dipastikan tidak akan ada yang menangkap esensi pemikiran-pemikirannya.
Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Dari buku – buku, koran dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan wanita pribumi, dimana kondisi sosial saat itu wanita pribumi berada pada status sosial yang rendah. Wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Tak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.
Beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan oleh Kartini karena ia dinikahkan oleh orang tuanya pada tanggal 12 November 1903 dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita disebelah timur kompleks kantor kabupaten Rembang atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai gedung pramuka. Pada tanggal 13 September 1904 Kartini melahirkan anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal dunia pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.


No comments:

Post a Comment