Thursday, 17 April 2014

Nafkah, Sikap Kerja Dan Tabiat Diri



Sumber pendapatan keluarga menjadi salah satu faktor keberlangsungan sebuah bangunan rumah tangga. Dalam istilah lain kita mengenal mata pencaharian atau juga nafkah keluarga. Banyak cerita dan kasus yang muncul serta berkembang justru berawal dari kegagalan seorang suami untuk menjadi penopang dan tulang punggung utama dalam sebuah keluarga.
Dalam ensiklopedi hukum islam, nafkah dimaknai sebagai pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik, atau dibelanjakan untuk orang – orang yang menjadi tanggung jawabnya.sementara Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menyatakan bahwa, Nafkah adalah memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, pengobatan istri, jika ia mampu. Namun dua hal diawal merupakan kebutuhan mendasar dan pokok.
Memberi nafkah merupakan kewajiban seorang suami terhadap keluarganya. Seperti sabda nabi dalam sebuah hadist dari Muawiah AlQusyairi “ aku berkata: “ Wahai rasulallah, apakah hak seorang istri dari kami? Beliau menjawab: “ Engkau memberinya makan apa yang engkau makan, engkau memberinya pakaian, sebagaimana engkau berpakaian. Janganlah engkau pukul mukanya....”. ibnu Qudaimah berkata bahwa para ahli sepakat tentang kewajiban suami memberi nafkah kepada isteri kecuali bila isterinya berbuat durhaka.
Lalu bagaimana jika isteri ingin berkarier di dunia luar rumah? Perlukah didukung atau justru dilarang dengan alasan karier domestik rumah tangga juga tak kalah penting?.
Islam pun memandang laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam bekerja sekaligus menikmati buah dari hasil kerja payah mereka. Allah SWT berfirman: “ Bagi laki-laki dianugerahkan hak dari apa yang diusahakannya dan bagi perempuan dianugerahkan hak dari apa yang diusahakannya ( Q.S. Al-Ahzab:33 ).
Kita tidak perlu memperdebatkan lagi boleh tidaknya seorang perempuan bekerja di luar rumah. Rasulullah SAW telah mencontohkan bagaimana beliau mengizinkan Siti Khadijah tetap menjadi pengusaha disamping mengasuh anak dan mendampingi nabi berda’wah. Mungkin yang perlu diperjelas adalah bagaimana nanti seorang suami dan isteri membagi peran masing – masing dalam keluarga dan dunia kerja, bagaiman amembagi waktu antara keluarga dan karier mereka apabila keduanya berkomitmen untuk bekerja. Jika seorang suami mengizinkan isterinya untuk bekerja maka ia wajib memberi dukungan terhadap isteri dengan cara ikut membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, seperti memberikan dukungan moral maupun emosional terhadap karier dan pekerjaan isteri, memahami beratnya tugas isteri yang berperan ganda sebagai ibu rumah tangga sekaligus sebagai profesional di dunia kerja yang mempunyai komitmen dan tanggung jawab atas pekerjaan yang dipercayakan kepadanya.
Begitu juga untuk sang isteri, dengan bekerja diluar rumah jangan sampai kewajiban terhadap suami terabaikan. Dalam bekerja hendaklah menjaga kehormatan diri, suami dan keluarga. Jika penghasilan yang di dapat seorang isteri lebih besar dari suami, hendaklah ia tetap menyadari akan perannya, bahwa ia bukan tulang punggung utama keluarga. Jangan sampai hal itu membuatnya merasa lebih berkuasa, menyepelekan kewajiabnnya sebgai seorang isteri, merasa tak butuh pemberian nafkah dari suami. Sebagai seorang isteri perempuan juga perlu menyadari, bagaimana pun suksesnya ia di dunia kerja, pemimpin di rumah tetaplah suami. Oleh karenanya ia harus menghormatinya, menerima dengan ikhlas sebesar apapun kadar nafkah yang mampu diberikan oleh suami. Berilah rasa pengertian, menghargai atas jerih payah usaha yang telah dilakukan suami, serta berilah dukungan kepadanya untuk bisa lebih maju, memberinya semangat dalam mencari nafkah. Bersikaplah bijaksana, bahwa keberhasilan yang telah diraih olehnya juga tak pernah lepas atas motifasi juga berkat dukungan sang suami yang telah mengizinkannya berkarier di luar rumah. Jangan sampai perbedaan pengasilan membuat suami merasa minder. Yakinlah, sebagai seorang isteri anda akan menyayangi dan bisa menerima kekurangan dan kelebihan suami dan bisa saling melengkapi.
Begitu juga bagi suami, dengan keberhasilannya seorang isteri, bukan berarti ia terlepas atas kewajibannya memberi nafkah. Ia tetaplah tulang punggung utama keluarga. Wajib memberi nafkah sesuai dengan kadar kemampuannya. Tapi bukan berarti ia tak ada usaha untuk bisa lebih maju. Firman Allah: “ ..... dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya ( Q.S Al Baqarah:233 ). Dengan cara yang ma’ruf berarti memberikan kebutuhan sesuai dengan ketentuan agama, tidak berlebihan dan tidak juga kekurangan.
Jadilah teman yang baik bagi pasangan. Jadilah orang pertama yang memberi dukungan ketika ia merasa terpuruk. Jangan ragu untuk memberi kritik yan g membangun untuk pasangan. Dan yang terpenting, harus ada sikap saling percaya dan mendukung diantara suami isteri sehingga bisa saling bekerja secara proporsional dan mengembangkan karier masing – masing. Sebisa mungkin tidak membawa tugas kantor ke rumah, jangan sampai pekerjaan menghalangi waktu untuk bercengkraman dengan keluarga. Semoga da pelajaran yang di dapat dari tulisan ini.

No comments:

Post a Comment