ASAL MULA UPACARA KASADA
D
|
ahulu hiduplah
satu keluarga yang tenteram. Suami istri tersebut bernama, Ki Seger dan Nyai
Anteng. Mereka berdua suami isteri hidup rukun. Tidak pernah terlintas
kemurungan dan kesedihan dalam wajahnya. Sungguh mereka merasakan nikmat
kebutuhan hidup mereka. Mereka tinggal di desa Tengger. Keadaan alam sekitar
tempat tinggal mereka sangatlah menyenangkan. Udara bersih, tanah subur, air
sungai mengalir dengan bersihnya. Memang suasana alam pun kut membantu
kedamaian hidup suami isteri. Hari – hari telah dilalui dengan cepat, usia pun
bertambah dengan cepat.
Kebahagiaan
dan kedamaian telah dilaluinya. Barulah mereka tersentak dan sadar bahwa mereka
pun merasakan kesepian tanpa kehadiran anak sampai usia senja.
Keinginan
mempunyai anak semakin besar. Mereka menempuh jalandengan cara bersemedi agar
mendapatkan anak. Setiap hari mereka berdo’a dikaki gunung Bromo. Karena do’a
dan tapa tiada henti setiap hari, akhirnya mereka pun dikabulkan oleh Dewa
Brahma.
Pada
saat bertapa, Nyai Anteng mendengar suara bahwa kelak ia akan melahirkan dua
puluh lima orang anak, asal anak pertama harus dikorbankan. Saat ist Nyai
Anteng menyatakan kesediaannya. Yang penting segera dikarunia anak. Waktu terus
berjalan, apa yang didengar waktu semedi menjadi kenyataan. Nyai Anteng hamil.
Mereke berdua merasa senang dan bahagia, karena anak yang didambakannya akan
segera datang juga.
Setelah
genap bulannya, Nyai Antneg melahirkan seorang anak laki-laki. Anak tersebut
diberi nama Kusuma. Bayi tersebut tumbuh dengan cepatnya. Badannya sehat dan
wajahnya tampan. Mereka merawat anak denga penuh kasih sayang. Anak Nyai Anteng
pun genaplah berjumlah 25 orang. Anak mereka hidup dengan penuh kegembiraan dan
ketenteraman. Sampai – sampai Nyai Anteng dan Ki Seger lupa akan janjinya.
Meski
lama tenggang waktunya, namun janji tetaplah janji. Pada saatnya akan ditagih
juga. Gunung Bromo muali memberi tanda – tanda peringatan. Suara gunung Bromo
gemuruh, asal berkepul – kepul. Nyai Anteng dan Ki Seger pun teringat akan
janjinya.
Perasaan
sedih dan sesal meresahkan hati mereka. Bagaimana mungkin mereka akan tega
melemparkan anak kesayangannya ke kawah gunung Bromo ?. Mereka berdua berusaha
menghilangkan perasaan sedih. Seandainya dapat diganti persembahan kepada dewa
di gunung Bromo bukan anaknya melainnkan dirinya. Namun, hal itu tak mungkin
terjadi. Dewa menghendaki anaknya yang sulung, bukan dirinya yang sudah tua.
Dari
hari ke hari Nyai Anteng semakin menderita tekanan batin, karena harus
menyerahkan anak sulungnya yang paling tampan dan paling disayang. Sementara
gunung Bromo semakin beraksi terus. Letusan – letusan mulai terjadi, lelehan
laharpun mengalir dengan derasnya. Saat itu pun Nyai Anteng bermimpi bahwa Dewa
Brahma menagih janjinya. Bila tidak ditepati, kedua puluh lima anaknya
sekaligus akan diminta secara paksa.
Selesai
mendengar ucapan Dewa Brahma, terbangunlah Nyai Anteng dari tidurnya. Ia tidak
dapat berbicara, ia hanya menangis terus teringat akan mimpinya.
Kusuma,
anak sulung, sudah menginjak dewasa. Ia melihat ibunya sedih terus setiap hari.
Maka bertanyalah Kusuma pada ibunya, “ Mengapa ibu nampak sedih ?” Apakah saya
boleh mengetahui sebab musababnya, Bu ?”.
“
Anakku, Kusuma! Ibumu harus mengorbankan engkau di kawah gunung Bromo. Ibumu
tidak sampai hati untuk melemparkan dirimu, Nak ! Apabila tidak, semua saudara
dan engkaua kan diambil secara paksa oleh Dewa Brahma.”
Mendengar
kata-kata ibunya, Kusuma tertegun diam seribu bahasa. Hatinya sedih. Namun
kemudian ia berkata, “Sudahlah, bu! Hilangkan perasaan hati ibu. Saya bersedia
menjadi korban demi ayah ibu, adik – adik serta keselamatan orang-orang tengger
pada umumnya. Saya rela menjadi korban, Bu!.”
Begitu
terharu mendengar kata-kata anaknya hingga ayah dan ibunya jatuh pingsan. Pada
hari yang telah ditentukan, dibawahlah Kusuma ke kawah gunung Bromo. Ia
diserahkan sebagai korban. Kemudian ia dilemparkan ke kawah gunung Bromo dengan
disaksikan oleh orang-orang di sekiar kaki gung Bromo.
Korban
Kusuma oleh Nyai Anteng dan Ki Seger diterima oleh Dewa. Sejak peristiwa itu
gunung Bromo tidak lagi terdengar suara gemuruh. Jadilah gunung Bromo tenteram,
tenang kembali seperti semula. Petani muali mengerjakan sawah dengan aman dan
tenteram. Demikian pula Nyai Anteng dan Ki Seger serta kedua pulu empat anaknya
hidup dengan tenang. Sampai saat ini masyarakat Tengger mengadakan upacara
koran dibawah gunung Bromo untuk menghormati arwah Kusuma. Namun yang dijadikan
korban bukan lagi manusia melainkan berupa sesaji kepala kerbau dan hasil panen
lainnya.
No comments:
Post a Comment