Monday, 17 November 2014

ASAL MULA UPACARA KASADA

ASAL MULA UPACARA KASADA

D
ahulu hiduplah satu keluarga yang tenteram. Suami istri tersebut bernama, Ki Seger dan Nyai Anteng. Mereka berdua suami isteri hidup rukun. Tidak pernah terlintas kemurungan dan kesedihan dalam wajahnya. Sungguh mereka merasakan nikmat kebutuhan hidup mereka. Mereka tinggal di desa Tengger. Keadaan alam sekitar tempat tinggal mereka sangatlah menyenangkan. Udara bersih, tanah subur, air sungai mengalir dengan bersihnya. Memang suasana alam pun kut membantu kedamaian hidup suami isteri. Hari – hari telah dilalui dengan cepat, usia pun bertambah dengan cepat.
Kebahagiaan dan kedamaian telah dilaluinya. Barulah mereka tersentak dan sadar bahwa mereka pun merasakan kesepian tanpa kehadiran anak sampai usia senja.
Keinginan mempunyai anak semakin besar. Mereka menempuh jalandengan cara bersemedi agar mendapatkan anak. Setiap hari mereka berdo’a dikaki gunung Bromo. Karena do’a dan tapa tiada henti setiap hari, akhirnya mereka pun dikabulkan oleh Dewa Brahma.
Pada saat bertapa, Nyai Anteng mendengar suara bahwa kelak ia akan melahirkan dua puluh lima orang anak, asal anak pertama harus dikorbankan. Saat ist Nyai Anteng menyatakan kesediaannya. Yang penting segera dikarunia anak. Waktu terus berjalan, apa yang didengar waktu semedi menjadi kenyataan. Nyai Anteng hamil. Mereke berdua merasa senang dan bahagia, karena anak yang didambakannya akan segera datang juga.
Setelah genap bulannya, Nyai Antneg melahirkan seorang anak laki-laki. Anak tersebut diberi nama Kusuma. Bayi tersebut tumbuh dengan cepatnya. Badannya sehat dan wajahnya tampan. Mereka merawat anak denga penuh kasih sayang. Anak Nyai Anteng pun genaplah berjumlah 25 orang. Anak mereka hidup dengan penuh kegembiraan dan ketenteraman. Sampai – sampai Nyai Anteng dan Ki Seger lupa akan janjinya.
Meski lama tenggang waktunya, namun janji tetaplah janji. Pada saatnya akan ditagih juga. Gunung Bromo muali memberi tanda – tanda peringatan. Suara gunung Bromo gemuruh, asal berkepul – kepul. Nyai Anteng dan Ki Seger pun teringat akan janjinya.
Perasaan sedih dan sesal meresahkan hati mereka. Bagaimana mungkin mereka akan tega melemparkan anak kesayangannya ke kawah gunung Bromo ?. Mereka berdua berusaha menghilangkan perasaan sedih. Seandainya dapat diganti persembahan kepada dewa di gunung Bromo bukan anaknya melainnkan dirinya. Namun, hal itu tak mungkin terjadi. Dewa menghendaki anaknya yang sulung, bukan dirinya yang sudah tua.
Dari hari ke hari Nyai Anteng semakin menderita tekanan batin, karena harus menyerahkan anak sulungnya yang paling tampan dan paling disayang. Sementara gunung Bromo semakin beraksi terus. Letusan – letusan mulai terjadi, lelehan laharpun mengalir dengan derasnya. Saat itu pun Nyai Anteng bermimpi bahwa Dewa Brahma menagih janjinya. Bila tidak ditepati, kedua puluh lima anaknya sekaligus akan diminta secara paksa.
Selesai mendengar ucapan Dewa Brahma, terbangunlah Nyai Anteng dari tidurnya. Ia tidak dapat berbicara, ia hanya menangis terus teringat akan mimpinya.
Kusuma, anak sulung, sudah menginjak dewasa. Ia melihat ibunya sedih terus setiap hari. Maka bertanyalah Kusuma pada ibunya, “ Mengapa ibu nampak sedih ?” Apakah saya boleh mengetahui sebab musababnya, Bu ?”.
“ Anakku, Kusuma! Ibumu harus mengorbankan engkau di kawah gunung Bromo. Ibumu tidak sampai hati untuk melemparkan dirimu, Nak ! Apabila tidak, semua saudara dan engkaua kan diambil secara paksa oleh Dewa Brahma.”
Mendengar kata-kata ibunya, Kusuma tertegun diam seribu bahasa. Hatinya sedih. Namun kemudian ia berkata, “Sudahlah, bu! Hilangkan perasaan hati ibu. Saya bersedia menjadi korban demi ayah ibu, adik – adik serta keselamatan orang-orang tengger pada umumnya. Saya rela menjadi korban, Bu!.”
Begitu terharu mendengar kata-kata anaknya hingga ayah dan ibunya jatuh pingsan. Pada hari yang telah ditentukan, dibawahlah Kusuma ke kawah gunung Bromo. Ia diserahkan sebagai korban. Kemudian ia dilemparkan ke kawah gunung Bromo dengan disaksikan oleh orang-orang di sekiar kaki gung Bromo.
Korban Kusuma oleh Nyai Anteng dan Ki Seger diterima oleh Dewa. Sejak peristiwa itu gunung Bromo tidak lagi terdengar suara gemuruh. Jadilah gunung Bromo tenteram, tenang kembali seperti semula. Petani muali mengerjakan sawah dengan aman dan tenteram. Demikian pula Nyai Anteng dan Ki Seger serta kedua pulu empat anaknya hidup dengan tenang. Sampai saat ini masyarakat Tengger mengadakan upacara koran dibawah gunung Bromo untuk menghormati arwah Kusuma. Namun yang dijadikan korban bukan lagi manusia melainkan berupa sesaji kepala kerbau dan hasil panen lainnya.


No comments:

Post a Comment